Update, Transparan dan Teraktual
Opini  

Panggung di Atas Pundak yang Lelah

ilustrasi

suaralintasnusantara.com – Di sebuah bukit, ribuan orang datang dengan perut kosong. Mereka hadir untuk menyaksikan, mendengar, menerima. Hanya seorang anak kecil yang membawa bekalnya, lima roti dan dua ikan, sebuah beban kecil di pundaknya yang justru menjadi awal dari segala solusi.

Itulah ironi yang sering terulang dalam kerja kreatif: panggung kesuksesan dibangun di atas pundak-pundak yang lelah, pundak segelintir orang yang berani membawa bekal mereka, sekecil apa pun. Sementara yang lain datang dengan tangan kosong, hanya siap menyambut hidangan, mengkritik rasa, atau bahkan menolak berbagi piring.

Ketika bekal kecil itu akhirnya jadi berkat bagi ribuan orang, reaksi yang muncul justru bukan ucapan terima kasih. “Dia cuma mau pamer,” bisik sebagian. Ini adalah mekanisme pertahanan klasik: defensive projection. Mereka yang tak berkontribusi merasa tersinggung oleh keberanian si pemberi, lalu melindungi ego mereka dengan menyerang niat baiknya.

Dan ketika segala sesuatunya berhasil, muncul tuduhan lebih keji: “Kita ini cuma kelinci percobaan!” Inilah puncak dari playing victim memutar narasi seolah-olah mereka yang tak berkontribusi justru adalah pihak yang “dikorbankan”. Mereka menikmati hasil, tetapi segera menjauh ketika ada risiko, sambil menyalahkan pemberi kontribusi sebagai “eksperimentalis” yang egois.

Anak kecil di bukit itu tidak berbicara tentang kelelahan. Ia hanya memberi. Yesus pun tidak memuji jumlah bekalnya, tetapi menghargai keberaniannya untuk menaruh sesuatu di atas meja dan bersedia membawanya di pundaknya.

Dalam dinamika tim, seringkali yang paling vokal bukanlah yang paling lelah. Yang paling lelah justru mereka yang diam yang memikul ide awal, draft pertama, atau inisiatif kecil yang kemudian dievaluasi, dikritik, atau dianggap “eksperimen gagal” oleh orang-orang yang dari awal menikmati panggung.

Panggung memang indah dilihat dari bawah. Tapi beban panggung itu ditahan oleh pundak yang lelah, pundak yang tidak hanya membawa roti dan ikannya sendiri, tetapi juga menghadapi bisikan-bisikan dari kerumunan yang hanya ingin kenyang.

Maka, sebelum menyebut diri “korban” atau menuduh orang lain “pamer”, tanyakan: apakah pundak Anda juga lelah karena telah membawa sesuatu? Atau justru lelah karena terlalu lama mengangguk, mengkritik, dan menunggu diberi makan? Keberanian sesungguhnya bukan pada membawa beban besar, tetapi pada kesediaan untuk merasakan lelahnya pundak dan tetap maju. (Nick)

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *