Update, Transparan dan Teraktual
Opini  

Spiritualitas dan Mesin Pencari

Seorang pria duduk menghadap kamera dengan latar ilustratif bernuansa kosmik dan simbol-simbol digital, menyerupai antarmuka mesin pencari. Visual ini merepresentasikan ironi pencarian makna, kebenaran, dan kekuasaan di ruang publik memadukan citra personal dengan simbol politik, spiritual, dan perlindungan diri yang kerap muncul dalam wacana sosial kontemporer. (NI)
Seorang pria duduk menghadap kamera dengan latar ilustratif bernuansa kosmik dan simbol-simbol digital, menyerupai antarmuka mesin pencari. Visual ini merepresentasikan ironi pencarian makna, kebenaran, dan kekuasaan di ruang publik memadukan citra personal dengan simbol politik, spiritual, dan perlindungan diri yang kerap muncul dalam wacana sosial kontemporer. (NI)

 

Oleh: Nick Irwan

Depok, (15/12)- Ponsel saya kembali bergetar. Sebuah notifikasi dari aplikasi pesan dari seorang teman bukan sekedar kabar biasa, melainkan sebuah pengakuan yang ditulis dengan campuran rasa kagum dan was-was.

“Ini waktu Tuhan, saya semalam kayak ada yang berbicara pakai bahasa-bahasa aneh…” Begitu pembuka percakapan kami di WhatsApp. Ia bercerita tentang pengalaman spiritual yang intens. Di otaknya seperti ada yang berbicara dengan mengucapkan kata-kata asing yang dia tidak pahami hingga pukul tiga pagi. Sebagai manusia yang hidup di zaman modern, ia refleks googling, segera mencari arti setiap kata yang terucap di dalam kepala. Hasilnya membikinnya merinding: “perahu” muncul tiga kali, “legislatif” sekali, disusul kata “malaikat”, “sorga”, dan “kebal”. Pesannya ditutup dengan pertanyaan yang menggantung: “Apa semua itu ya?” dan sebuah kecemasan, ia takut dianggap aneh jika bercerita kepada orang lain.

Sebagai seorang yang sehari-hari berkutat dengan fakta dan data, naluri pertama saya adalah mencari kerangka untuk memahami ini, bukan untuk menyangkal atau membenarkan secara gegabah. Di sinilah neurosains (ilmu saraf) menawarkan sebuah lensa yang menarik. Otak kita, mesin pencari paling canggih, adalah pattern-seeking machine, ia terobsesi mencari pola dan makna dari segala stimulasi, termasuk dari dalam dirinya sendiri. Dalam keadaan tertentu (meditasi, kelelahan ekstrem, trans spiritual, atau fokus religius yang mendalam), aktivitas di beberapa bagian otak seperti korteks prefrontal (pusat logika) bisa berubah, sementara jaringan default mode (yang berkaitan dengan refleksi diri dan memori) menjadi sangat aktif.

Apa artinya? Bisa jadi, pengalaman “mengoceh bahasa aneh” adalah hasil dari proses bawah sadar yang mencoba “menerjemahkan” sebuah pengalaman spiritual, emosional, atau intuisi yang sangat kuat ke dalam bentuk linguistik. Otak mengambil fragmen memori, bisa dari bacaan, percakapan, atau konten digital yang pernah kita serap dan menyusunnya menjadi “kata-kata asing” yang terasa bermakna. Google kemudian menjadi alat pembenaran (atau pencipta makna) modern. Ketika kita mencari “perahu” dan menemukan konsep tentang penyeberangan, penyelamatan, atau perjalanan dalam berbagai tradisi, otak kita segera menyambungkannya dengan narasi spiritual personal.

Di sini, saya melihat sebuah titik temu yang indah dan sering diabaikan: fakta ilmiah dan pengalaman spiritual tidak harus berhadap-hadapan. Neurosains bisa menjelaskan “bagaimana”nya mekanisme otak dalam memproses pengalaman mistis. Namun, ia tidak serta-merta membatalkan “mengapa”-nya,  makna dan nilai yang dirasakan oleh individu.

Pesan teman saya itu adalah cermin zaman pengalaman spiritual yang dahulu mungkin disampaikan dalam mimpi atau penglihatan, kini di translate melalui mekanisme otak dan langsung diverifikasi via mesin pencari. “Perahu”, “legislatif” (hukum/ketetapan), “malaikat”, “surga”, “kebal” , bagi saya, ini adalah kosakata simbolis yang membentuk sebuah narasi personal tentang pencarian perlindungan, ketertiban ilahi, dan kekebalan batin di tengah dunia yang tak menentu seperti sekarang.

Apa itu “nyata”? Secara empiris, yang terukur adalah aktivitas saraf dan respons psikologis. Tetapi, apakah makna yang dihasilkannya kurang “nyata” bagi yang mengalaminya? Tentu tidak. Di sinilah kita perlu berhenti sejenak dari kebiasaan menganggap pengalaman seperti ini “aneh”.

Kepada teman saya, dan mungkin kepada banyak orang yang punya pengalaman serupa, saya ingin mengatakan: Kamu tidak aneh. Kamu manusia dengan otak yang kompleks dan jiwa yang merindukan makna. Neurosains memberi kita peta untuk memahami medan pengalamanmu, tetapi jalan dan tujuannya tetaplah milikmu sendiri. Yang penting adalah menjaga keseimbangan: hargai pengalaman batinmu, tetapi tetaplah berlabuh pada realitas sehari-hari yang sehat. Kadang, pesan terdalam justru datang bukan untuk memahamkan pikiran, tetapi untuk menggetarkan hati.

Dan tugas saya sebagai pewarta yang saat ini menulis opini adalah mencatat percakapan-percakapan manusiawi semacam ini, bukan sebagai pembuktian mukjizat, tetapi sebagai dokumentasi atas cara manusia, di abad digital ini, tetap berusaha mendengarkan dan memahami bisikan-bisikan halus dari dalam dirinya sendiri, entah dari mana asalnya. Itu adalah fakta yang paling manusiawi.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *