suaralintasnusantara.com – Pada suatu sore tahun 1945, beberapa tokoh Kristen berkumpul di Yogyakarta. Indonesia baru saja memproklamasikan kemerdekaannya, dan mereka merasa terpanggil untuk ikut menjaga rumah baru bernama Republik Indonesia. Dari ruang-ruang sederhana itu lahirlah Partai Kristen Indonesia (Parkindo), yang kemudian tercatat sebagai salah satu peserta pemilu pertama di negeri ini.
“Umat Kristen tidak boleh hanya menjadi penonton. Kita harus ikut serta membangun bangsa,” demikian pesan seorang tokoh Parkindo kala itu, yang kemudian sering dikutip dalam catatan sejarah.
Pemilu 1955: Suara Minoritas yang Nyaring
Ketika Indonesia menggelar Pemilu 1955—pemilu paling demokratis pada era awal kemerdekaan—Parkindo dan Partai Katolik turut serta. Hasilnya memang tidak sebesar PNI atau Masyumi, tetapi tetap signifikan. Parkindo meraih delapan kursi DPR, sementara Partai Katolik mendapat tujuh kursi.
Di parlemen, suara minoritas ini berperan sebagai penyeimbang. Mereka mendorong kebijakan di bidang pendidikan, kebebasan beragama, hingga pembangunan sosial. “Partai Katolik mungkin kecil, tapi punya pengaruh moral yang besar,” tulis Kedaulatan Rakyat pada masa itu.
Orde Baru: Identitas yang Dilebur
Gelombang politik pasca-1965 membawa perubahan besar. Di bawah rezim Orde Baru, kebijakan fusi partai memaksa Parkindo dan Partai Katolik—bersama IPKI dan Murba—bergabung ke dalam Partai Demokrasi Indonesia (PDI) pada 1973.
Secara formal identitas partai Kristen hilang, namun tokoh-tokohnya tetap aktif dalam PDI. Mereka membawa aspirasi umat dalam batas yang diizinkan rezim, sekaligus menjaga agar suara pluralisme tidak tenggelam di tengah dominasi Golkar.
Reformasi: PDS dan Harapan Baru
Angin reformasi 1998 kembali membuka ruang bagi kebebasan politik. Dari euforia itu lahir berbagai partai Kristen baru: ada yang mencoba menghidupkan nama lama seperti Parkindo 45, ada pula partai kecil Katolik. Namun yang paling menonjol adalah Partai Damai Sejahtera (PDS).
Didirikan pada 2001, PDS mencatat kejutan besar dengan meraih 12 kursi DPR pada Pemilu 2004. Dengan wajah ramah dan pesan damai, partai ini berhasil menarik simpati pemilih.
“PDS adalah rumah politik bagi umat Kristen, tetapi juga terbuka bagi semua,” ujar salah seorang pengurusnya kala itu. Namun, sinar PDS meredup cepat. Pada Pemilu 2009, mereka gagal menembus ambang batas parlemen. Sejak saat itu, tidak ada lagi partai Kristen yang memiliki fraksi di Senayan.
Lebih dari Sekadar Kursi
Meski kerap terpinggirkan secara elektoral, kontribusi partai-partai Kristen tidaklah kecil. Mereka ikut memperjuangkan:
1. Kebebasan beragama dan toleransi.
2. Akses pendidikan dan kesehatan, sesuai tradisi panjang gereja dalam pelayanan sosial.
3. Hak-hak sipil dan kesetaraan warga negara.
Kini, representasi politik umat Kristen lebih banyak dijalankan lewat tokoh-tokoh di partai besar seperti PDI Perjuangan, Golkar, hingga Demokrat. Pada era 1980-an ada Frans Seda dan Harry Tjan Silalahi, sementara di era mutakhir figur-figur Kristen tetap hadir di kabinet maupun DPR. Keterlibatan politik umat Kristen tetap hidup, meski tidak lagi terwadahi dalam partai Kristen khusus.
Penutup: Jejak yang Tak Terhapuskan
Sejarah partai-partai Kristen di Indonesia adalah kisah tentang suara minoritas yang tidak pernah absen membangun republik. Dari Parkindo dan Partai Katolik yang turut mewarnai awal demokrasi, hingga PDS yang menjadi fenomena singkat pasca reformasi, mereka telah meninggalkan jejak penting.
Kini belum ada lagi partai Kristen yang kuat berdiri di parlemen. Namun, semangat yang melatarinya—keterpanggilan untuk ikut menjaga bangsa dan memperjuangkan keadilan bagi semua—masih tetap terasa, melampaui nama dan wadah.Seperti pesan salah satu tokoh Parkindo di masa awal kemerdekaan:“Indonesia adalah rumah kita bersama. Umat Kristen akan selalu ada di dalamnya.” (DUP)
Oleh: Dwi Urip Premono – Ketua Simposium Setara Menata Bangsa (SSMB)











