suaralintasnusantara.com – Dunia hukum Indonesia kembali dihebohkan oleh kasus yang diduga sebagai bentuk kriminalisasi terhadap advokat yang tengah menjalankan tugasnya. Tim penasihat hukum Advokat Tony Budidjaja menggelar konferensi pers di Lubis Santosa & Maramis Law Firm, Equity Tower, Sudirman, pada Selasa (4/3), guna mengungkap kejanggalan dalam proses hukum yang menjerat klien mereka.
Tony Budidjaja, yang sedang menangani eksekusi putusan arbitrase internasional atas nama kliennya, Vinmar Overseas Ltd., terhadap PT Sumi Asih, justru berujung sebagai terdakwa dalam perkara pidana di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan. Kasus ini dinilai janggal sejak awal, di mana Tony ditetapkan sebagai tersangka oleh Polres Metro Jakarta Selatan pada Februari 2023 tanpa pemeriksaan terlebih dahulu.
Merasa ada ketidakwajaran, Tony melaporkan tindakan penyidik ke Birowasidik Mabes Polri. Namun, meski sempat mengira bahwa proses penyidikan telah dihentikan, kasus ini justru tetap bergulir hingga Kejaksaan Negeri Jakarta Selatan dan langsung diajukan ke pengadilan, meskipun berkas perkara disebut belum lengkap.
Proses Hukum Sarat Kejanggalan
Dalam persidangan, tim kuasa hukum Tony mengungkap berbagai kejanggalan. Laporan polisi terhadapnya dibuat oleh seorang kuasa hukum, Rusmin Widjaya, yang tidak memiliki surat kuasa dari pihak yang berkepentingan. Padahal, tuduhan terhadap Tony berdasarkan Pasal 317 KUHP merupakan delik aduan yang seharusnya hanya bisa dilaporkan oleh pihak yang dirugikan.
Selain itu, di tengah persidangan, terjadi perubahan komposisi majelis hakim secara tiba-tiba tanpa penjelasan. Ketua Majelis Hakim yang awalnya menangani perkara digantikan tanpa transparansi. Saat Tony menyampaikan keberatan atas hal ini, ia diminta mengajukan surat resmi kepada Ketua Pengadilan. Namun, permintaan itu tak mendapat respons hingga akhirnya pada 20 Februari 2025, hakim Raden Ari Muladi justru langsung membacakan putusan tanpa mempertimbangkan keberatan dan bukti-bukti pembelaan.
Putusan tersebut menyatakan Tony terbukti bersalah melakukan tindak pidana fitnah dan dijatuhi hukuman dua bulan penjara. Namun, menurut tim kuasa hukum, tidak ada alat bukti yang sah yang mendukung dakwaan, termasuk saksi yang dapat membuktikan dugaan pengaduan palsu.
Dugaan Rekayasa untuk Menghambat Eksekusi Arbitrase
Tim penasihat hukum Tony, yang dipimpin oleh advokat senior Todung Mulya Lubis, Juniver Girsang, dan Hafzan Taher, menilai kasus ini merupakan upaya sistematis untuk menghambat pelaksanaan eksekusi arbitrase terhadap PT Sumi Asih.
Juniver Girsang menegaskan, “Untuk menjatuhkan putusan pidana, hakim harus mendasarkan keputusannya pada sekurang-kurangnya dua alat bukti yang sah serta keyakinan bahwa putusan tersebut adil dan bermanfaat.” tegasnya.
Dalam persidangan, manajemen PT Sumi Asih, termasuk Alexius Darmadi, berusaha menghindari eksekusi arbitrase dengan menyatakan bahwa perusahaan mereka berbeda dengan entitas yang disebut dalam putusan arbitrase. Padahal, argumen ini telah ditolak dalam putusan pengadilan yang berkekuatan hukum tetap.
Kesaksian yang diberikan oleh Alexius dan rekan-rekannya pun dinilai tidak konsisten. Mereka mengaku tidak mengenal Tony maupun Vinmar, tetapi tetap dihadirkan oleh jaksa sebagai saksi, meskipun secara hukum kesaksian tersebut tidak dapat dikategorikan sebagai bukti yang sah.
Serangan terhadap Profesi Advokat
Kasus ini mendapat kecaman luas, termasuk dari Ketua DPN PERADI Rumah Bersama Advokat (RBA), Luhut MP Pangaribuan, yang menilai putusan ini sebagai ancaman terhadap kemandirian profesi advokat.
“Putusan ini telah menyerang keagungan profesi advokat sebagai pilar penegakan hukum dan keadilan. Seluruh advokat wajib memperjuangkan perlindungan hukum atas profesinya agar bebas dari intimidasi dan kriminalisasi,” tegas Luhut.
Dalam sistem hukum Indonesia, advokat diakui sebagai officium nobile atau profesi mulia karena perannya dalam menegakkan keadilan dan melindungi hak asasi manusia. Undang-Undang No. 18 Tahun 2003 tentang Advokat menegaskan bahwa advokat memiliki kedudukan yang setara dengan penegak hukum lainnya. Pasal 16 UU Advokat bahkan memberikan hak imunitas bagi advokat dalam menjalankan tugasnya, sebagaimana dipertegas oleh Putusan Mahkamah Konstitusi No. 26/PUU-XI/2013.
Tim kuasa hukum Tony menegaskan bahwa putusan ini harus dikoreksi demi menjaga integritas profesi advokat dan memastikan bahwa hukum tetap menjadi instrumen keadilan, bukan alat kriminalisasi. Jika dibiarkan, kasus ini bisa menjadi preseden buruk yang meresahkan masyarakat dalam mencari keadilan.
Dengan berbagai kejanggalan yang terungkap, tim kuasa hukum kini tengah mempertimbangkan langkah hukum lanjutan, termasuk upaya banding dan pengaduan ke Komisi Yudisial serta Mahkamah Agung, demi mendapatkan keadilan bagi Tony Budidjaja dan membela marwah profesi advokat di Indonesia. (Es)