Hukum  

Richard William Sebut Penetapan Hakim PN Jakarta Selatan Melanggar Konstitusi

suaralintasnusantara.com – Richard William, Ketua Umum GAPTA dan pendiri Forum Wartawan Jaya Indonesia (FWJI), mengungkapkan dugaan pembangkangan konstitusi terkait Penetapan Pengadilan Negeri Jakarta Selatan Nomor 111/Pid.Pra/2024/PN.Jkt.Sel tanggal 21 November 2024. Penetapan tersebut menetapkan Sugiono sebagai tersangka dalam kasus dugaan laporan polisi ganda.

Dalam sidang di Pengadilan Negeri Jakarta Pusat pada Kamis (5/12), Richard menyatakan bahwa penetapan ini melanggar prinsip dasar kekuasaan kehakiman sebagaimana diatur dalam Pasal 53 ayat (1) dan (2) Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman. “Hakim harus bertanggung jawab atas putusannya dengan dasar hukum yang tepat dan benar,” ujar Richard.

Penetapan Dinilai Tanpa Dasar Hukum

Richard mengungkapkan bahwa penetapan tersebut tidak memenuhi kriteria hukum yang berlaku. Penetapan (beschikking), menurutnya, hanya berlaku pada perkara volunter yang bersifat sepihak, seperti dispensasi nikah, izin nikah, atau pengangkatan anak. “Penetapan ini justru menyimpang dari prinsip dasar peradilan dan digunakan untuk menetapkan Sugiono sebagai tersangka,” tegasnya.

Richard juga menyoroti dugaan rekayasa laporan polisi ganda sebagai dasar penetapan. Ia menyatakan bahwa kasus ini termasuk bentuk gugatan perbuatan melawan hukum.

Tudingan Pembangkangan Konstitusi

Lebih lanjut, Richard menyebut bahwa penetapan ini mencerminkan pembangkangan konstitusi. Ia menilai hakim bertindak di luar kewenangannya dengan membuat “produk hukum” yang seharusnya menjadi kewenangan legislatif. “Ini adalah wujud nyata pembangkangan konstitusi. Presiden dan DPR-lah yang memiliki otoritas membuat undang-undang, bukan hakim,” katanya.

Richard menambahkan, jika praktik seperti ini terus terjadi, maka Kapolri dan Kabawas Mahkamah Agung juga harus bertanggung jawab. “Kami menuntut ganti rugi sebesar Rp1 triliun sebagai bentuk kompensasi atas pelanggaran hukum dan konstitusi yang menciderai rasa keadilan,” ujarnya.

Kasus Serupa Pernah Terjadi

Sebagai perbandingan, Richard mengutip kasus di Pengadilan Negeri Sampit, Kalimantan Tengah, pada 2016. Penetapan dalam perkara Nomor 57/Pdt.G/2016/PN Spt dinyatakan batal demi hukum oleh Pengadilan Tinggi Palangkaraya. Menurutnya, kasus tersebut menjadi preseden penting untuk menunjukkan bahwa penetapan yang melanggar hukum acara dapat dibatalkan.

“Penetapan Nomor 111/Pid.Pra/2024/PN.Jkt.Sel harus ditinjau ulang. Jika dibiarkan, ini akan menjadi preseden buruk bagi penegakan hukum di Indonesia,” pungkas Richard.

(QQ)

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *