suaralintasnusantara.com – Isu pencantuman kolom agama dalam Kartu Tanda Penduduk (KTP) kembali menjadi sorotan publik. Di tengah masyarakat digital dan multikultural seperti Indonesia, perdebatan soal relevansi kolom agama tak lagi sekadar administratif, tetapi menyentuh akar persoalan kebebasan beragama, hak sipil, dan pengakuan terhadap kepercayaan lokal.
Inilah yang menjadi fokus Dialog Kebangsaan bertajuk “Kolom Agama di KTP, Perlukah?” yang diselenggarakan Pewarna Indonesia bersama Simposium Setara Menata Bangsa dan Asosiasi Pendeta Indonesia (API) pada Sabtu, 5 Oktober 2025 secara daring.
Hadir sebagai narasumber utama Dr. Shri I Gusti Ngurah Arya Wedakarna Mahendratta Wedasteraputra Suyasa III, Senator DPD RI dan tokoh muda Hindu. Dalam paparannya, Arya menegaskan bahwa kolom agama dalam KTP memiliki dimensi historis dan administratif yang tidak bisa diabaikan.
“Indonesia memiliki sejarah panjang keberadaan agama Hindu dan agama-agama lokal. Kolom agama tidak hanya berfungsi sebagai identitas, tetapi juga berperan dalam manajemen sosial, termasuk dalam pengelolaan bencana dan pelayanan publik,” ujar Arya Wedakarna.
Sebagai penanggap, Dr. Yohanis Henukh, Ketua STT Pokok Anggur, menyoroti perlunya kolom agama di KTP tetap dipertahankan dengan prinsip inklusivitas dan penghormatan terhadap seluruh keyakinan.
“Kita perlu memastikan bahwa pencantuman agama di KTP tidak menjadi alat pembeda, melainkan instrumen administratif yang menghormati keragaman,” tegasnya.
Dialog yang dimoderatori oleh Dr. Ashiong Munte, Pengurus Pusat Pewarna Indonesia bidang Litbang, berlangsung interaktif dan menggugah. Para peserta mendalami aspek hukum, sosial, dan kebijakan publik, termasuk meninjau keputusan Mahkamah Konstitusi 2016 dan Mahkamah Agung 2017 yang memberi ruang bagi penganut kepercayaan untuk menuliskan keyakinannya dalam dokumen identitas.
Dalam diskusi, Arya Wedakarna juga menyoroti keberadaan sekitar 200 agama lokal di Indonesia yang saat ini dibina oleh Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan. Menurutnya, langkah ini menunjukkan pengakuan negara terhadap spiritualitas Nusantara.
“Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan telah mengambil peran penting dalam melindungi dan memberdayakan agama-agama lokal. Ini wujud konkret negara dalam menjaga keberagaman,” jelas Arya.
Beragam isu turut mengemuka, termasuk intoleransi, dialog antaragama, serta transisi keagamaan masyarakat adat seperti komunitas Dayak di Kalimantan. Arya menekankan pentingnya semangat toleransi yang tumbuh dari penghormatan dan kasih.
“Kita harus melampaui kompetisi jumlah antaragama. Toleransi sejati lahir dari rasa saling menghargai dan kemanusiaan universal,” tandasnya.
Sebagai penutup, Arya Wedakarna menyampaikan apresiasi kepada Pewarna Indonesia atas kepeduliannya terhadap isu kebangsaan dan keberagaman. Ia juga mengusulkan agar Pewarna Indonesia dapat menyelenggarakan lebih banyak kegiatan serupa di masa depan, bahkan membuka peluang penggunaan ruang pertemuan DPD RI sebagai wadah dialog lintas iman.
Pewarna Indonesia menyambut baik ajakan tersebut sebagai bentuk sinergi positif antara media, akademisi, dan lembaga negara. Melalui ruang-ruang dialog seperti ini, Pewarna Indonesia meneguhkan komitmennya untuk terus menjadi jembatan komunikasi dan penjaga nilai-nilai kebangsaan di tengah masyarakat majemuk Indonesia.











