suaralintasnusantara.com – Konflik Israel-Palestina yang telah berlangsung lebih dari tujuh dekade kembali menjadi sorotan dalam Dialog Kebangsaan bertajuk “Arah Baru Israel-Palestina” yang diselenggarakan secara daring oleh Persatuan Wartawan Nasrani (PEWARNA) Indonesia, Asosiasi Pendeta Indonesia, dan Simposium Setara Menata Bangsa (SSMB), Minggu (28/9/2025).
Dua pembicara utama hadir dalam forum ini, yakni mantan Kepala Badan Intelijen Strategis (Bais) Laksamana Muda TNI (Purn) Soleman B. Ponto dan aktivis pro-Israel sekaligus founder Hadassah of Indonesia, Monique Rijkers. Penanggap adalah Ketua Umum Asosiasi Pendeta Indonesia (API) Pendeta Harsanto Adi serta Direktur Center For European Union Studies sekaligus mantan diplomat, Partogi Samosir. Dialog dibuka oleh Ketua SSMB Dwi Urip Premono dan dimoderatori Daniel Tanamal.
Soleman B. Ponto menilai kerangka lama seperti Oslo Accord tidak lagi relevan. “Realitas di lapangan menunjukkan adanya integrasi ekonomi dan keamanan yang sulit dipisahkan. Arah realistis bukan lagi dua negara yang benar-benar terpisah, tetapi satu ruang politik yang saling terhubung,” ujarnya.
Ia menawarkan konsep “Abraham Accord Plus” yang memadukan normalisasi regional dengan pembangunan ekonomi Palestina, bergeser dari state security ke human security.
Monique Rijkers menegaskan pandangan berbasis Alkitab. “Yoel 3:2 jelas menyatakan tanah itu milik Tuhan. Menyetujui berdirinya negara Palestina di Yudea, Samaria, dan Gaza berarti menyerah kepada terorisme dan mengabaikan kebenaran firman Allah,” katanya. Ia mengapresiasi pidato Presiden Prabowo di PBB yang tidak mengecam Israel serta rencana pengiriman 20.000 personel TNI sebagai pasukan perdamaian.
Pendeta Harsanto Adi menyebut dinamika konflik sebagai bagian dari penggenapan Firman. “Hari ini kita menyaksikan tangan Tuhan bekerja. Walau hampir 150 negara mendukung lahirnya negara Palestina, firman Allah dalam Mazmur 83 dan Mazmur 2 telah menubuatkan bahwa bangsa-bangsa akan bermufakat melawan Tuhan. Umat Allah tetap menjadi umat pemenang,” jelasnya.
Partogi Samosir menilai perdamaian penuh sulit tercapai karena konflik berakar teologis. “Pengakuan negara Palestina oleh negara-negara besar pun baru sebatas kemenangan simbolis, belum menyentuh realitas di lapangan,” ucapnya. Ia menambahkan konsep konfederasi Israel-Palestina sulit diwujudkan tanpa saling pengakuan.
Soleman menyoroti perubahan sikap Eropa lebih didorong faktor ekonomi akibat perang Rusia-Ukraina. “Daripada terus menanggung kerugian karena mendukung Israel, mereka bersikap seolah menentang Israel. Tetapi sepanjang mereka masih membaca Alkitab, arah dukungan akan kembali seperti semula,” katanya.
Monique menambahkan bahwa kerja sama Indonesia-Israel sejatinya sudah berlangsung, termasuk di sektor ekspor-impor, pariwisata, dan teknologi medis. “Nilai perdagangan Indonesia-Israel justru lebih tinggi dibandingkan perdagangan Indonesia-Palestina,” ungkapnya.
Ia juga menekankan agar umat Kristen tidak kompromi terhadap Firman. “Kalau kita kompromi, generasi kita akan terhilang. Saya tidak mau melihat anak-anak sekolah minggu hari ini menjadi generasi Yudas,” tegasnya.
Partogi mengingatkan warga gereja agar berhikmat. “Indonesia adalah negara mayoritas Muslim. Jika salah berbicara, dampaknya bisa negatif bagi gereja-gereja di Indonesia. Kita perlu berhati-hati agar dialog ini menyejukkan, bukan memicu konflik,” katanya.
Menutup dialog, Soleman menyimpulkan masa depan Israel masih akan berada di persimpangan keyakinan dan realitas politik. “Solusi dua negara tampak jauh dari kenyataan. Perdamaian hanya mungkin jika terjadi perubahan fundamental, baik dalam ideologi politik internal Israel, jaminan keamanan regional tanpa dominasi Israel, maupun penarikan dukungan besar-besaran dari Amerika Serikat,” tandasnya.











