suaralintasnusantara.com – Rancangan Undang-Undang Perampasan Aset Koruptor kembali jadi sorotan. Dalam Dialog Kebangsaan bertajuk “Macetnya RUU Perampasan Aset Koruptor” yang digelar daring pada Minggu (21/9), Pewarna Indonesia bersama Simposium Setara Menata Bangsa dan Asosiasi Pendeta Indonesia menghadirkan tokoh lintas agama, kepemudaan, serta masyarakat sipil untuk menegaskan bahwa keadilan tidak boleh lagi menunggu.
Sebagai pengantar diskusi, Dwi Urip Premono menegaskan bahwa forum ini bukan sekadar ruang intelektual, melainkan panggilan moral untuk mengembalikan nurani bangsa yang dirusak praktik korupsi.
“Korupsi adalah ketidakadilan yang merampas hak orang kecil. Karena itu, perampasan aset koruptor bukan sekadar kebijakan hukum, tetapi bagian dari panggilan moral untuk menegakkan keadilan,” ujarnya.
Ia kemudian mengutip Kitab Mikha 6:8: “Hai manusia, telah diberitahukan kepadamu apa yang baik. Dan apakah yang dituntut TUHAN daripadamu: selain berlaku adil, mencintai kesetiaan, dan hidup dengan rendah hati di hadapan Allahmu?” Ayat ini, menurutnya, menjadi dasar profetis bahwa perjuangan melawan korupsi bukan hanya soal regulasi, melainkan juga soal iman, nurani, dan tanggung jawab sosial. “Korupsi adalah dosa, dan keadilan tidak boleh ditunda!” tegasnya.
Diskusi yang dipandu Ashiong P. Munthe menghadirkan sejumlah suara kritis. Sahat Martin Sinurat (Ketua Umum PP GAMKI) mengingatkan bahwa perjalanan RUU ini sudah dimulai sejak era Presiden Megawati, namun hingga kini DPR belum menuntaskannya. “Kunci utama ada pada partai politik sebagai penentu arah kebijakan legislasi,” katanya.
Sementara itu, Dr. Djasermen Purba (Ketua Umum MUKI) menegaskan bahwa RUU Perampasan Aset telah masuk dalam Prolegnas Prioritas 2025–2026, bersamaan dengan revisi KUHAP. Karena itu, ia menilai regulasi ini seharusnya disahkan paling lambat tahun depan. Ia mendorong masyarakat sipil dan organisasi keagamaan untuk aktif mengawal proses legislasi dengan mendekati fraksi-fraksi di parlemen.
Dari perspektif lain, Pdt. Dr. Japarlin Marbun (Ketua Umum BAMAGNAS) menyatakan bahwa uang hasil korupsi wajib dikembalikan untuk kepentingan pembangunan bangsa. Ia mengusulkan pembentukan Kaukus Cinta Bangsa lintas ormas agar desakan kepada DPR lebih terorganisir dan memiliki daya tekan nyata.
Pdt. Harsanto Adi (Ketua Asosiasi Pendeta Indonesia) menyoroti peran gereja dan lembaga keagamaan dalam membentuk generasi berintegritas. Ia juga mengusulkan pembentukan badan independen pengelola aset rampasan agar hasilnya benar-benar kembali ke rakyat, bukan kembali tersedot ke lingkaran korupsi.
Sementara itu, pengamat sosial politik Albert Siagian menilai hambatan utama ada pada belum solidnya sikap pemerintah dan lemahnya komitmen partai politik di DPR. Menurutnya, tanpa tekanan publik yang kuat, RUU ini akan terus menjadi sekadar wacana.
Diskusi semakin hidup saat peserta diberi ruang bertanya dan menyampaikan pernyataan. Beberapa menyuarakan keresahan bahwa korupsi telah menjadi “penyakit sistemik” yang mustahil diberantas tanpa instrumen hukum tegas. Interaksi ini menegaskan bahwa publik tidak lagi ingin menunggu, melainkan menuntut aksi nyata.
Moderator Ashiong P. Munthe menutup diskusi dengan menekankan bahwa waktu untuk menunda sudah habis. “Pengesahan RUU ini tidak bisa lagi ditunda. Negara membutuhkan instrumen kuat untuk mengembalikan aset yang dirampas koruptor demi kesejahteraan rakyat,” tegasnya.
Pada penghujung acara, Ketua Umum Pewarna Indonesia menyampaikan apresiasi kepada semua narasumber dan peserta. Ia memastikan bahwa Pewarna Indonesia akan terus mengawal isu-isu kebangsaan yang menyangkut kepentingan rakyat. “Kita tidak boleh lelah bersuara, sebab diam di hadapan ketidakadilan berarti menyetujui kejahatan,” ujarnya.
Dialog ini menyisakan satu pesan profetis: keadilan tidak boleh terus dipinggirkan oleh kompromi politik. Semakin lama DPR menunda pengesahan, semakin besar pula luka yang ditanggung rakyat akibat korupsi. (Elly)











