suaralintasnusantara.com – Acara bedah buku “Kiai Sadrach – Sebuah Perjalanan Kristen Jawa” digelar di Kantor Majelis Umat Kristen Indonesia (MUKI) di Gedung Nyi Ajeng Serang, Jakarta, pada Jumat (21/3).
Acara ini dibuka oleh MC Elly Wati Simatupang dan dipandu oleh moderator Nick Irwan, dengan dihadiri oleh sejumlah pendeta dari berbagai gereja, perwakilan lembaga-lembaga Kristen, serta insan media.
Kegiatan tersebut menghadirkan beberapa narasumber penting, antara lain Sekretaris Umum Persekutuan Gereja-gereja di Indonesia (PGI) Pdt. Darwin Darmawan, Penulis buku Tri Budi Wibowo, Ketua Umum Pewarna Indonesia Yusuf Mudjiono, serta Ketua Umum MUKI Jasarmen Purba.
Dalam pemaparannya, Pdt. Darwin Darmawan menyatakan bahwa upaya pewartaan Injil yang dilakukan Kiai Sadrach di masa lalu sangat relevan untuk diterapkan pada zamannya. Ia menjelaskan bahwa pendekatan yang dilakukan Kiai Sadrach berhasil menghasilkan banyak pengikut Kristus, termasuk penginjil lain yang menjadi penerus ajarannya.
“Pewartaan yang dilakukan Kiai Sadrach menghasilkan pengikut Kristus dan juga penginjil lain sebagai penerusnya. Banyak orang Jawa saat ini yang beragama Kristen,” ujar Pdt. Darwin.
Namun, Pdt. Darwin juga mengkritisi bahwa metode pewartaan pada masa itu memiliki karakteristik yang berbeda dibandingkan masa kini. Ia mengingatkan bahwa situasi sosial dan politik di era kolonialisme tidak perlu diromantisasi atau diterapkan pada zaman sekarang.
“Terlebih lagi, Kiai Sadrach yang ingin mengkristenkan orang tidak bisa melakukan sakramen sesuai dengan tata cara yang berlaku. Situasi ini membuatnya dianggap oleh gereja melakukan berbagai pelanggaran,” jelasnya.
Tri Budi Wibowo, penulis buku tersebut, mengungkapkan bahwa karyanya merupakan hasil dari tesisnya di Sekolah Tinggi Teologi Injili Indonesia (STTII) Jakarta.
“Buku ini selain karya akademik juga sebagai upaya saya mengilhami secara teologi pelayanan gerejawi yang dijalani Kiai Sadrach di Gereja Kristen Mennonite,” ungkapnya.
Tri Budi menambahkan bahwa Kiai Sadrach mengusung gerakan Mardiko (merdeka) yang merujuk pada kemerdekaan rohani dan jasmani bagi jemaatnya. Ia juga menekankan bahwa Kiai Sadrach berupaya memisahkan ajaran Kristen dari label agama penjajah dengan mengedepankan pendekatan budaya Jawa.
“Kiai Sadrach melakukan pewartaan Injil sesuai dengan konteks sosial masyarakat Jawa pada saat itu. Ia tak ingin bahwa Kristen yang diwartakan oleh orang Eropa berpusat pada kultur yang mereka bawa saja,” jelasnya sambil mengutip 1 Korintus 9:20-23.
Ketua Umum Pewarna Indonesia, Yusuf Mudjiono, menyatakan bahwa penerbitan buku ini merupakan bagian dari gerakan Pewarna untuk mengingatkan kembali peran misionaris lokal dalam mewartakan Injil.
“Tunggul Wulung, Sadrach di tanah Jawa, Pontas Lumban Tobing di Tapanuli. Mereka adalah pribumi yang turut menjadi pewarta Injil. Mereka menginjili dengan pendekatan budaya, menggunakan simbol, seni, dan ornamen lokal agar Injil lebih diterima masyarakat,” ujar Yusuf.
Ketua Umum MUKI, Jasarmen Purba, juga menegaskan bahwa kekristenan berbasis budaya merupakan sesuatu yang penting untuk dipertahankan selama tidak bertentangan dengan nilai-nilai iman Kristen.
Sementara itu, Ketua Umum Asosiasi Pendeta Indonesia, Harsanto Adi, menyoroti dampak kolonialisme Belanda yang lebih berorientasi pada kekuasaan dibandingkan dengan penginjilan.
“Peluncuran buku ini menjadi momentum penting untuk merefleksikan sejarah dan menjaga semangat penginjilan kontekstual,” ungkap Harsanto Adi.
Setelah paparan dari para narasumber, acara dilanjutkan dengan sesi diskusi dan tanya jawab yang disambut antusias oleh para peserta.
Diskusi ini memberikan perspektif baru tentang bagaimana Injil dapat dikontekstualisasikan tanpa kehilangan esensinya di tengah tantangan zaman modern.
Acara ini diharapkan dapat menginspirasi gereja masa kini untuk mengedepankan pendekatan budaya yang relevan, namun tetap setia pada akar iman Kristen.
Kegiatan ini diselenggarakan melalui kerja sama antara Pewarna Indonesia dan MUKI. (ES)