FGD BPIP di Malang: Pancasila Hanya Jadi Ritual dan Retorika Belaka

suaralintasnusantara.com — Sejak Pancasila ditetapkan sebagai dasar negara dan ideologi bangsa, ia seharusnya menjadi sumber moral dan panduan perilaku bagi seluruh warga negara, termasuk penyelenggara negara.

Namun, fenomena yang teramati di berbagai sektor, termasuk sektor sosial dan pendidikan, justru menunjukkan bahwa Pancasila seringkali hanya menjadi retorika tanpa implementasi nyata.

Hal ini menjadi sorotan dalam Focus Group Discussion (FGD) bertema *Etika Sosial dan Pendidikan* yang diselenggarakan oleh Badan Pembinaan Ideologi Pancasila (BPIP) di Universitas Negeri Malang.

Kegiatan yang digelar pada Senin (2/9) ini menghadirkan sejumlah narasumber, seperti Johan Hasan, Mohammad Mahfud MD, Ki Darmaningtyas, Garin Nugroho Riyanto, Siti Musdah Mulia, dan beberapa tokoh lainnya.

Rektor Universitas Negeri Malang, Hariyono, menyoroti bahwa perilaku para penyelenggara negara yang tidak Pancasilais telah menyebabkan masyarakat sulit memahami makna etika. “Etiket itu penting, tapi yang pokok adalah terkait filsafat etika, ilmu yang berkaitan dengan sesuatu yang pantas atau tidak,” ujarnya.

Pendidikan yang seharusnya menjadi akar peradaban bangsa kini diredusi nilainya oleh kapitalisasi, liberalisasi, dan privatisasi. Pendidikan yang telah berubah menjadi lahan investasi demi keuntungan menciptakan dampak sosial yang meresahkan.

Anggota Dewan Pengarah BPIP, Muhammad Amin Abdullah, mengingatkan bahwa pendidikan telah terjebak dalam kapitalisasi yang mengedepankan persaingan dan ranking dibandingkan dengan nilai-nilai etika.

Kapitalisasi dan Degradasi Pendidikan

Peraturan Presiden Nomor 76 Tahun 2007 yang memasukkan sektor pendidikan ke dalam sektor investasi terbuka bagi penanaman modal asing menjadi bukti nyata maraknya kapitalisasi pendidikan.

Ki Darmaningtyas, pakar pendidikan Taman Siswa, menekankan bahwa proses kapitalisasi ini telah mengubah pendidikan menjadi lahan komersial yang memprioritaskan keuntungan daripada tujuan pencerdasan kehidupan bangsa.

“Secara ekonomis, biaya pendidikan semakin mahal, tapi kualitasnya tidak berbanding lurus. Komersialisasi pendidikan terutama terjadi di perguruan tinggi, yang dikelola persis seperti perusahaan,” tegas Ki Darmaningtyas.

Korupsi dan Kehilangan Etika

Fenomena korupsi di sektor pendidikan juga semakin memperburuk keadaan. Data dari Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) mengungkap bahwa 33% sekolah melakukan korupsi anggaran, dengan praktik pemerasan, pemotongan, hingga penggelembungan biaya. Hal ini diperparah dengan perilaku penyelenggara negara yang kerap flexing, pamer kemewahan, dan pemborosan anggaran.

Anggaran pendidikan yang seharusnya dialokasikan sepenuhnya untuk biaya pendidikan ternyata juga dialihkan ke kementerian lain. Praktik-praktik seperti ini menghilangkan esensi pendidikan sebagai proses humanisasi, berubah menjadi proses dehumanisasi.

Rekomendasi BPIP: Reformasi Pendidikan dan Etika

Dari hasil diskusi ini, BPIP memberikan sejumlah rekomendasi kebijakan, politik, dan pendidikan untuk memperbaiki kondisi yang ada. Beberapa di antaranya adalah reformasi dalam metode pembelajaran Pancasila, penguatan etika sosial dalam pendidikan, serta transparansi dalam rekrutmen pejabat pendidikan.

BPIP juga menekankan pentingnya pengajaran etika sosial yang aplikatif namun rasional dan praktis, serta perlunya reformasi dalam penetapan kebijakan pendidikan, termasuk terkait penghapusan kekerasan seksual.

Pada akhirnya, pendidikan harus kembali ke hakikatnya sebagai proses pencerdasan bangsa, bukan sekadar pemenuhan kewajiban konstitusional. Pendidikan harus menjadi sumber intelektualitas sekaligus moralitas yang mencerminkan nilai-nilai Pancasila dalam setiap aspek kehidupan masyarakat.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *