Menko PMK: Literasi Keagamaan Lintas Budaya Dibutuhkan di Tengah Tantangan Ujaran Kebencian

SuaraLintasNusantara.com – Jakarta – Menteri Koordinator Bidang Pembangunan Manusia dan Kebudayaan (Menko PMK), Muhadjir Effendy, menekankan pentingnya literasi keagamaan lintas budaya di tengah tantangan dunia menghadapi ujaran kebencian yang semakin merajalela dan sulit dikendalikan. Situasi dunia yang semakin terhubung secara digital juga menyebabkan penyebaran pesan kebencian menjadi sangat mudah sehingga bisa merusak kerukunan sosial.

“Saat ini dunia dihadapkan tantangan besar dalam bentuk ujaran kebencian yang semakin merajalela dan semakin sulit dikendalikan,” kata Muhadjir selaku pembicara kunci dalam webinar internasional yang diadakan Maarif Institute dan Institut Leimena pada Selasa (27/6/2023) malam.

Webinar ini digelar dalam rangka memperingati Hari Internasional untuk Melawan Ujaran Kebencian yang jatuh setiap tanggal 18 Juni sesuai ketetapan Perserikatan Bangsa-bangsa (PBB).

Menko PMK menyatakan ujaran kebencian tidak hanya mempengaruhi stabilitas sosial, tapi juga menimbulkan kerusakan moral, mental, serta jiwa secara sistematis dan berkelanjutan. Pada gilirannya juga menciptakan perpecahan dan konflik di berbagai belahan dunia.

Dia juga menyebut pentingnya penguatan literasi digital dan penggunaan teknologi komunikasi dengan bertanggung jawab untuk memerangi fenomena sangat berbahaya berupa ujaran kebencian secara online.

“Literasi Keagamaan Lintas Budaya merupakan praktik sangat penting dalam mempromosikan pemahaman, toleransi, dan kerja sama antar budaya. Melalui pemahaman lebih dalam tentang kepercayaan dan praktik keagamaan berbeda-beda, kita dapat membangun jembatan yang kokoh antar komunitas dan menciptakan dunia lebih harmonis,” kata Muhadjir.

Mantan Utusan Khusus Presiden RI untuk Timur Tengah dan Organisasi Kerja Sama Islam (OKI), Alwi Shihab, mengatakan pandangan agama yang berhaluan keras dan kaku telah menyebabkan derasnya arus pemikiran radikal yang mengarah bukan saja kepada intoleransi tapi juga terorisme. Menurutnya, pendekatan efektif untuk mencegah ujaran kebencian adalah memberikan edukasi melalui ajaran agama yang benar.

Alwi mengungkapkan keprihatinan atas fakta dari hasil penelitian Pusat Pengkajian Islam dan Masyarakat (PPIM) UIN Syarif Hidayatullah tahun 2018 menunjukan sebanyak 57% guru memiliki opini intoleran terhadap pemeluk agama lain.

“Data ini cukup mencemaskan mengingat guru berada di posisi strategis dan sangat penting dalam pembentukan nilai, pandangan serta perilaku siswa dan mahasiswa yang akan menjadi pemimpin bangsa di masa depan,” ujar Alwi yang juga Senior Fellow Institut Leimena.

Berangkat dari realita tersebut, ujar Alwi, Institut Leimena telah menjalin kerja sama dengan lebih dari 17 institusi termasuk Maarif Institute, Majelis Pendidikan Dasar, Menengah, dan Pendidikan Non-Formal Pimpinan Pusat Muhammadiyah, Masjid Istiqlal, dan kalangan universitas untuk mengadakan program Literasi Keagamaan Lintas Budaya (LKLB) yang telah meluluskan lebih dari 5.000 guru sekolah/madrasah/pesantren sejak diadakan dua tahun lalu.

Membangun Narasi

Associate Professor di Teachers College, Columbia University, Dr. Amra Sabic-El-Rayess, memimpin program Reimagine Resilience yang ditujukan untuk membangun ketahanan (resilience) melalui pembangunan narasi (storytelling). Dalam mencegah kekerasan yang ditargetkan, Amra menyebut pentingnya mengurai jalur-jalur menuju radikalisasi dan menyadari bagaimana seorang individu bisa teradikalisasi.

Amra mengembangkan teori educational displacement yang mengungkapkan bahwa radikalisasi biasanya dipicu dalam ruang-ruang sosial khususnya sekolah. Kondisi itu disebabkan minimnya pertukaran cerita atau dialog.

“Pada akhirnya menumbuhkan rasa tidak terhubung, keterasingan. Mereka merasa tidak didengarkan atau tidak dilihat oleh para pendidik, tidak merasa bagian suatu komunitas sehingga mereka mencari sumber-sumber alternatif. Di sinilah peran dari tenaga radikalisasi,” kata Amra.

Amra berupaya mengembangkan respons yang tepat dalam mengatasi keterasingan. Dia berangkat dari pengalaman pribadinya sebagai seorang Muslim Bosnia yang melarikan diri dari Perang Bosnia. Kisahnya untuk bertahan hidup selama 1.200 hari di bawah gempuran militer Serbia, tanpa akses dunia luar termasuk listrik dan makanan, dituliskannya dalam buku berjudul “The Cat I Never Named: A True Story of Love, War, and Survival”.

“Cerita ini menjadi cara saya mendidik generasi muda. Bagaimana saya memiliki ketahanan. Bahkan ketika dihadapkan dengan kebencian, kami membalas dengan rasa kasih sayang dan membangun komunitas yang tidak membalas kebencian,” lanjut Amra.

Direktur Eksekutif Institut Leimena, Matius Ho, mengatakan hubungan antar agama sejak awal menjadi dasar pertimbangan penting untuk mendorong upaya bersama melawan ujaran kebencian. “Ibaratnya, ujaran kebencian itu seperti api yang harus secepatnya dipadamkan sebelum menjalar lebih jauh,” katanya.

Senada dengan itu, Direktur Program Maarif Institute, Moh Shofan, mengatakan literasi keagamaan yang rendah berpotensi menimbulkan kesalahpahaman. Di sisi lain, perlu dibangun ruang-ruang perjumpaan baik kultural maupun lintas agama untuk membangun saling pemahaman.

Staf Ahli Mendikbudristek Bidang Hubungan Kelembagaan dan Masyarakat, Muhammad Adlin Sila, dan Peneliti Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN), Ahmad Najib Burhani, menyampaikan gagasan untuk membangun landasan kehidupan antar umat beragama, salah satunya menerapkan Profil Pelajar Pancasila dalam Kurikulum Merdeka. [IL/Chr]

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *